Tumbuhnya berbagai bimbingan belajar menjadi
satu fenomena menarik dan menjadi catatan tersendiri bagi dunia pendidikan di
Indonesia. Ketidakpuasan terhadap kondisi pembelajaran di sekolah diyakini
sebagai salah satu penyebab tumbuh suburnya berbagai bimbingan belajar
tersebut.
Sekolah yang memiliki otoritas sebagai tempat
untuk menyelenggarakan pendidikan sering dipertanyakan perannya. Hal ini adalah
salah satu masalah yang ada dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Sebagai alternatif belajar di luar sekolah
banyak siswa yang menggantungkan harapannya pada bimbingan belajar untuk
mendapatkan materi yang tidak diajarkan di sekolah. Dengan adanya proses
penerimaan di PTN melalui ujian tertulis semakin menambah daya tarik siswa
terhadap bimbingan belajar.
Seiring dengan itu banyak bermunculan
bimbingan belajar untuk merespon tantangan ini. Namun, kenyataannya kondisi ini
tidak diiringi dengan kesungguhan penyelenggara bimbingan belajar dalam
melaksanakan proses pembelajaran.
Bimbingan
Belajar sebagai Alternatif Belajar di Luar Sekolah
Dalam upaya untuk ikut mendukung program
pemerintah yaitu ikut mencerdaskan kehidupan bangsa ada sebagian orang
mewujudkannya dengan mendirikan bimbingan belajar. Banyak siswa dengan antusias
mengikuti bimbingan belajar terutama bagi mereka yang ingin mempersiapkan diri
menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri.
Pada kenyataannya belajar di bimbingan belajar
tidak sekedar berupa materi pelajaran semata. Tetapi, juga disampaikan tentang
kiat-kiat belajar yang efektif, kiat-kiat belajar di perguruan tinggi, maupun
informasi seputar perguruan tinggi.
Pada awalnya bimbingan belajar dibentuk untuk
membantu siswa SMA yang baru lulus dalam menghadapi ujian masuk Perguruan
Tinggi Negeri. Persaingan ketat untuk mendapatkan tempat di perguruan tinggi
negeri memaksa para siswa untuk mempersiapkan diri secara ekstra.
Pada masa itu perguruan tinggi negeri menjadi
pilihan terbaik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
karena belum banyak pilihan perguruan tinggi lain dan biaya pendidikan yang
relatif lebih terjangkau.
Keterbatasan sistem yang berlaku di sekolah
juga ikut memicu tumbuhnya berbagai bimbingan belajar. Kemampuan guru yang
terbatas, kurangnya fasilitas belajar yang memadai, serta tuntutan kurikulum
yang tidak realistis menyebabkan siswa mencari alternatif lain untuk belajar di
luar sekolah. Sekolah juga dianggap tidak mampu menyediakan semua kebutuhan
yang diperlukan siswa terlebih lagi kesiapan untuk berebut kursi di PTN yang
diidam-idamkan.
Peluang ini yang dilihat oleh pengelola bimbel
yang kemudian direspon dengan mendirikan Bimbingan Belajar. Dari segi bisnis
hal ini memang terlihat sangat menjanjikan dan menggiurkan. Selain itu segi
bisnis ada pula bimbel yang didirikan dengan faktor ideologis dengan keinginan
untuk mendekatkan dakwah dengan pelajar.
Salah satu tolok ukur keberhasilan suatu
bimbingan belajar adalah jumlah siswa yang berhasil lulus ke perguruan tinggi
negeri. Namun, hasil yang telah dicapai ini masih menyisakan pertanyaan. Seberapa
besar peran bimbel membantu siswa lulus dalam SPMB. Ini bisa dilihat dari
jumlah siswa yang telah ikut mulai dari program reguler yang lulus dibanding
siswa yang hanya ikut di program intensif.
Menjadikan banyaknya siswa yang lolos ke PTN
sebagai tolok ukur keberhasilan suatu bimbingan belajar adalah sesuatu masih
perlu dipertanyakan. Bimbingan belajar tidak sepenuhnya berhak mengklaim
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kelulusan siswa ke PTN.
Hal ini tampak dari kehadiran siswa di kelas
bimbingan belajar yang tidak menentu. Selain itu perlu dilihat juga apakah
mereka yang lulus merupakan siswa yang ikut semenjak program regular atau hanya
ikut di program intensif saja.
Kalau tolok ukur keberhasilan dilihat dari
banyaknya siswa yang lolos ke PTN saja mengapa bimbingan belajar tidak fokus
dengan menyelenggarakan program persiapan masuk PTN (program intensif) saja
sehingga lebih kelihatan hasilnya. Jadi penyelenggara bimbingan belajar tidak
dapat menggunakan keberhasilan siswa masuk ke PTN sebagai ukuran efektivitas
belajar di bimbingan belajar tersebut.
Dalam hal bimbel yang berlatar belakang
ideologi tidak dapat dipungkir bahwa faktor ideologi menjadi salah satu faktor
penting dalam pertumbuhan dan perkembangan bimbel tersebut. Jaringan yang
terbangun melalui rohis sangat penting khususnya di masa awal berdirinya bimbel
tersebut untuk memperkuat posisinya.
Namun, pada akhirnya kekuatan jaringan itu
tidak cukup memadai untuk menopang bimbel tanpa adanya profesionalisme dan
pembinaan sumber daya manusia yang kuat di bimbel. Selain itu, kekuatan
jaringan justru dapat menjadi bumerang buat bimbel karena bimbel tidak dapat
melihat secara riil posisi bimbel yang sebenarnya di mata konsumen dalam hal
ini siswa.
Konsumen yang terbentuk melalui jaringan tidak
dapat menilai secara objektif terhadap bimbel. Jadi, apakah bimbel tersebut
memang benar-benar bimbingan belajar yang layak diikuti (dan perlu) masih
menjadi pertanyaan besar.
Merupakan suatu hal yang menggembirakan bila
melihat perkembangan bimbel yang amat pesat dan menjelma menjadi bisnis yang
berkembang di Indonesia. Namun, pencapaian ini akan menjadi sia-sia apabila
tidak disertai dengan evaluasi dan cara pandang yang baru yang sesuai dengan
perkembangan zaman.
Sumber:
http://edukasi.kompasiana.com/2009/11/09/bimbingan-belajar-dan-bisnis-pendidikan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar